Senin, 24 Juni 2013

Sejarah Perjuangan Hidup Eyang Kakung

Tulisan ini kami buat dua puluh tahun yang lalu sesaat setelah memperingati Kawin Emas (50 tahun) Bapak M.Marni Adiwiyata ( alm. ) dengan sumber berita dari Harian Kompas tanggal 29 Agustus 1984, Jawa Pos tanggal 5 Mei 1984 dan tanggal 21 Maret 1985 dan juga cerita langsung dari Almarhum.

PAK GURU  SANG PERINTIS PENDIRI  SEKOLAH LANJUTAN
YANG HAMPIR TERLUPAKAN
s
ang surya pagi kembali memancarkan sinarnya di pagi ini. Seluruh warga Tulungagung menyambutnya dengan gembira, dengan suatu harapan hari ini akan lebih baik dari hari sebelumnya.
Tulungagung kota kecil yang penuh kedamaian yang terletak di Timur Pulau Jawa, dimana salah satu warganya telah mengisi seluruh kehidupannya dikota ini dengan melahirkan, membesarkan dan mendidik Putra–Putrinya dengan penuh kasih sayang dan penuh kedisplinan.
Begitu cepatnya waktu berpacu dari hari ke hari berganti ke bulan, dan bulan berganti pula ke tahun, terus silih berganti dari tahun ke tahun.
Pembangunan kota Tulungagung begitu cepatnya berkembang kearah suatu kemajuan dan keindahan.
Salah satu warga yang kami sebut diatas tidak lain adalah sosok  Sang  Perintis pendiri Sekolah Lanjutan  yaitu  Bapak  Mas Marni Adiwiyata.
Kurang lengkaplah bila kita semua tidak mengingat kembali Sejarah Perjalanan – Perjuangan hidup Bapak M.Marni Adiwiyata yang sangat kita cintai.
            Lahir 15 Oktober 1908 Bapak M.Marni Adiwiyata putra bungsu dari dua bersaudara, putra seorang juru tulis desa atau Carik di desa Ngulan Trenggalek.
Setamat pendidikan H.I.S di Trenggalek tahun 1921 meneruskan pendidikan masuk Kweek School ( Sekolah Guru ) di kota Blitar dan diselesaikan di kota Jogyakarta.
Lulus dari Sekolah Guru tahun 1926 beliau langsung diangkat menjadi Kepala SD Swasta (Schakel School ) di Trenggalek.

Dibalik keberhasilan beliau terselip cita–cita ingin belajar keluar negeri. Untuk mewujudkan cita–cita itu beliau pindah ke Probolinggo menjadi guru H.I.S di kota tersebut.












BELAJAR DI NEGERI ORANG
Juli tahun 1932 atas biaya sendiri Bapak M.Marni Adiwiyata dengan naik kapal laut menuju Negeri Belanda untuk mencari ilmu.
Tanpa sulit tes yang diajukan dapat diselesaikan dengan baik. Beliau berhasil diterima di Nuts Kweek School di kota Nijmegen dekat perbatasan Jerman.
Selama belajar di Negeri Belanda hingga tahun 1937 hanya tiga bulan beliau tinggal dipemondokkan.  Selebihnya menetap dikamar hotel karena selain mencari ilmu di Negeri orang beliau bekerja dihotel tersebut.
Diakui oleh beliau cara tersebut banyak menguntungkan karena bisa selalu bergaul dengan tamu–tamu dan para karyawan hotel sebagai sarana komunikasi langsung guna memperlancar berbahasa asing.

Nuts Kweek School di Guyostraat, Nijmegen Belanda tempat belajar Bapak M. Marni Adiwiyata
            Setibanya ditanah air kembali (1938) beliau langsung diterima menjadi Kepala H.I.S di Tanah Abang Jakarta.
Ijazah guru yang beliau dapat dari Negeri Belanda bernilai tinggi pada waktu itu. Beliau menjadi guru pribumi sama derajatnya dengan guru–guru bangsa Belanda.
Setahun kemudian beliau dipindah dan diangkat menjadi guru H.C.S ( Hollands Chinesche School ) dikota Banjarmasin – Kalimantan.
            Tahun 1940 tanggal 26 Juli gadis Trenggalek yang mengenyam pendidikan Mulo dikota Blitar, Ibu Soediyati putri keenam dari Bapak-Ibu Soerodisastro resmi menjadi pendamping Bapak M. Marni Adiwiyata.
Dan selanjutnya berdampingan menempuh hidup baru di Banjarmasin sampai lahirlah Putri pertamanya.
Bangunan ini adalah bekas HCS dimana Bapak Marni Adiwiyata mengajar tahun 1939 s/d 1941 di Banjarmasin. Bangunan ini sampai sekarang tidak berubah bentuk dan kayunya. Sekarang dipakai untuk SMP 10 dan S.M.E.A Swasta ( Foto 24 Januari 1981 )


Tangga depan gedung bekas HCS (Hollands Chinesche School) di Banjarmasin dimana Bapak Marni mengajar pada tahun 1939 s/d 1941 sekarang dipakai untuk SMP 10. ( Foto 24 Januari 1981 )


Disinilah tempat tinggal / rumah Bapak Ibu Marni Adiwiyata selama di Banjarmasin pada tahun 1939 s/d 1941. Sekarang menjadi toko buku. ( Foto 24 Januari 1981 )



MERINTIS BERDIRINYA S.M.P
Menjelang pecah perang Pasifik – Jepang masuk Indonesia tahun 1942 Bapak M. Marni Adiwiyata beserta keluarga pulang kembali ke Trenggalek (mengungsi).
            Mengawali kariernya sebagai pendidik sejak awal kemerdekaan, tahun 1946 Bapak M. Marni Adiwiyata mendirikan S.M.P Swasta di Tulungagung.
Waktu itu di Tulungagung hanya ada satu Sekolah Lanjutan yaitu Taman Dewasa milik Perguruan Taman Siswa. Sedangkan untuk S.M.P Negeri yang ada baru dikota Kediri.
            Rintisan itu tidak sia–sia, bulan Juli 1947 berdasarkan Nota Telegram Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan ditetapkanlah S.M.P Swasta Tulungagung menjadi S.M.P Negeri yang ke-26 di Indonesia dan menepati gedung bekas H.C.S zaman Belanda.
Dan terhitung tanggal 1 September tahun itu juga (1947) beliau diangkat menjadi Kepala Sekolahnya.
Dengan tenaga guru yang tak genap sepuluh orang waktu itu Bapak M. Marni Adiwiyata yang menguasai secara aktif empat bahasa asing yaitu bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis dan bahasa Inggris juga ikut aktif mengajar disekolah tersebut dengan tekun dan penuh disiplin.
Jauh sebelum beliau memasuki masa pensiun sebagai Kepala S.M.P Negeri Tulungagung 5 Oktober 1966, dikota tersebut sudah mulai banyak S.M.P baik Negeri maupun Swasta.

Foto bersama Guru dan murid.
  
Guru-2 foto bersama  saat Ulang Tahun SMP Negeri Tulungagung  (17  Juli 1958)
Berlatar belakang ruang yg saat ini menjadi ruangan Kepala Sekolah

Foto perpisahan Guru didepan halaman Sekolah  29 Agustus  '58 (diambil dari jalan raya)
Dilokasi tsb.saat ini telah dibangun Joglo


Foto perpisahan 2 Guru didepan halaman Sekolah  Juli 1960 (diambil dari halaman utara)
Dilokasi tsb. saat ini telah dibangun Joglo.

Keterangan spt diatas ( difoto dari depan kelas lihat foto dibawah)
Latar belakang terlihat lorong (sebelah kiri), saat ini telah dibangun dan berubah
 fungsi menjadi ruang tamu. Ruang kelas sebelahnya menjadi ruang rapat.


Lokasi Foto di halaman tengah Sekolahan.
Terlihat latar belakang sebelah kanan 2 bangunan kelas, yg sampai saat ini
tetap dipertahankan keberadaannya. Saat ini bangunan kuno itu dikelilingi
ruangan-2 kelas yg dibangun bertingkat.


   
  
PANGGILAN “NURANI”
Melihat banyaknya lulusan S.M.P Tulungagung yang kebingungan karena tidak mampu meneruskan ke Sekolah Lanjutan Atas yang baru ada dikota lain diluar Tulungagung, dimana pada waktu itu se Karesidenan Kediri hanya baru ada satu S.M.A dikota Kediri.
Oleh karena itu Bapak M.Marni Adiwiyata merasa terpanggil untuk mengatasi kesulitan tersebut tanpa memperhitungkan untung ruginya bagi pribadi beliau.
            Sehingga ditahun 1957 semasa beliau masih menjabat Kepala S.M.P Negeri beliau merintis mendirikan S.M.A Mardi Putro, yang merupakan S.M.A Swasta pertama di Tulungagung dan sekaligus beliau diangkat menjadi Kepala Sekolahnya.
Pada masa itu S.M.A Mardi Putro hanya memiliki satu jurusan saja yaitu Jurusan C ( Jurusan Tatabuku ).
Sedangkan untuk mendirikan S.M.A Negeri syaratnya cukup berat. Dimana S.M.A Negeri harus memiliki tiga jurusan yaitu Jurusan A ( Jurusan Sastra ), Jurusan B ( Jurusan Ilmu Pasti ) dan Jurusan C ( Jurusan Tatabuku ).
            Pada waktu itu untuk mendapatkan / mencari guru pengajar S.M.A masih sangat sulit, terutama guru pengajar bahasa asing ( Bahasa Jerman dan Bahasa Perancis ) demikian juga guru pengajar Ilmu Pasti sehingga dapat dikatakan guru–guru tersebut termasuk guru yang langka waktu itu.
Untuk memenuhi syarat tersebut, berkat perjuangan, tekad dan usaha yang gigih dari Sang Perintis Bapak M.Marni Adiwiyata tidaklah terlalu sulit untuk dicapai.
Akhirnya dua tahun kemudian S.M.A Mardi Putro ditetapkan menjadi S.M.A Negeri.
Penguasaan beberapa bahasa asing oleh beliau sangat berfaedah.
Beliau menjadi guru bahasa Jerman dan bahasa Perancis di S.M.A Negeri tersebut sekaligus tetap menjadi Kepala Sekolahnya disamping beliau sebagai Kepala S.M.P  Negeri 1.
Setelah guru–guru pengajar lengkap semua dan dengan telah ditetapkan oleh Pemerintah Kepala S.M.A Negeri yang definitif, Bapak M.Marni Adiwiyata otomatis menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan S.M.A Negeri tersebut yang terus berkembang sampai sekarang.



SANG PERINTIS MENDIRIKAN S.M.E.A
Disela–sela kesibukan beliau sebagai Kepala S.M.P Negeri 1 selepas sebagai Kepala S.M.A Negeri, Sang Perintis pun mulai memikirkan perlu adanya Sekolah Kejuruan Tingkat Atas bagi khususnya warga Tulungagung.
Dimana pada waktu itu di Jawa Timur baru ada tiga atau empat Sekolah Kejuruan Tatabuku Tingkat Atas ( S.M.E.A ).
Dengan bantuan beberapa rekan guru didirikanlah S.M.E.A pertama di Tulungagung pada tahun 1961 dan beliau ditunjuk lagi sebagai Kepala Sekolahnya.
            Nama Mardi Putro yang tidak dipakai lagi setelah S.M.A di Negeri kan tetap digunakan untuk nama S.M.E.A  sebagai S.M.E.A Mardi Putro.
Dengan menempati bangunan bekas gudang tembakau milik seorang Tionghoa yang disewa dan ujian Negara demi ujian Negara dilalui dengan sukses oleh para siswa S.M.E.A Mardi Putro akhirnya rintisan beliau pun berhasil juga.
S.M.E.A Mardi Putro ditahun 1973 berubah statusnya menjadi S.M.E.A Negeri Tulungagung.
Masa pensiun bukan masa istirahat bagi beliau, terbukti semasa pensiun beliau masih aktif mengajar bahasa Jerman dan bahasa Perancis di S.M.A Negeri sampai tahun 1973, mengajar di S.M.E.A Negeri sampai tahun 1977 dan di S.M.A Katolik sampai tahun 1981. Selain itu beliau pun masih aktif memberikan les pribadi untuk bahasa asing dirumah.
            Pengunduran diri sebagai pengajar disekolah–sekolah tersebut dikarenakan permohonan dan atas desakan dari para Putra–Putri beliau. Dimana yang sebenarnya sekolah–sekolah tersebut masih sangat memerlukan tenaga dan pikiran beliau terutama dalam bidang bahasa asing khususnya bahasa Jerman dan bahasa Perancis.
Dari pengalaman beliau yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, menurut beliau : Salah satu kunci sukses belajar adalah tidak cukup hanya dengan bimbingan guru bermutu tetapi haruslah diikuti dan dilandasi dengan tekad dan kemauan yang kuat, disertai dengan cara belajar yang baik dengan jalan terus–menerus melatih diri, selain itu jangan merasa lekas berpuas diri.
Untuk menumbuhkan tekad dan kemauan yang keras peranan orang tua sangatlah menunjang.
KELUARGA SANG PERINTIS
Bapak M.Marni Adiwiyata yang lahir tanggal 15 Oktober 1908 menikah tanggal 26 Juli 1940 dengan Ibu Soediyati yang lahir tanggal 28 September 1918 kini tenang mendampingi Putra–Putrinya yang masing–masing beliau beri nama yang mengandung arti.
            Putra pertama lahir tanggal 17 Juni 1941 beliau beri nama Belliati. Belli berarti baik, ati adalah hati. Maksudnya diharapkan Putri pertama beliau ini menjadi orang yang baik hati, mulia dan berbudi luhur.
            Putra kedua diberi nama Armini. Armi berarti tentara, ni berarti saat ini. Nama Armini beliau tandakan untuk Putrinya ini karena kelahiran Putri beliau ini sewaktu masa pecah perang, diwaktu saat mengungsi tahun 1942 tanggal 29 September.
            Putra ketiga beliau beri nama Hariasa. Hari berarti waktu / saat, asa berarti harapan. Lahir 2 April tahun 1944.
Mempunyai arti gabungan : Tahun 1944 waktu itu sudah ada harapan Indonesia akan bisa merdeka. Dan juga mengandung arti : Keinginan beliau Putra yang ketiga ini menjadi orang yang bisa diharapkan dalam segala hal sehingga bisa menjadi teladan keluarga.
Setelah dewasa atas inisiatif Putranya sendiri nama berubah menjadi Hariasa Adiwiyata.
            Putra keempat beliau beri nama Priwisono yang berarti Pemerintahan Republik Indonesia wis ono ( sudah ada ) karena lahir setelah Proklamasi yaitu tahun 1946 tanggal 3 Mei.
Yang akhirnya setelah dewasa juga mengikuti jejak kakaknya, namanya dilengkapi menjadi Priwisono Adi.
            Putra terakhir si Ragil beliau beri nama Rimanang yang mempunyai arti Republik Indonesia Menang. Lahirnya setelah Agresi kedua setelah keadaan Negara cukup tenang yaitu tahun 1950 tanggal 7 Maret.
Melihat nama bapaknya dipakai oleh kakak–kakaknya si Ragil juga ingin sama karena sama–sama putranya Bapak Adiwiyata dan bertambahlah namanya menjadi Rimanang Adi.
Keberhasilan / kesuksesan Bapak M.Marni Adiwiyata dalam mendidik Putra-Putrinya demikian juga suksesnya karier beliau dalam dunia pendidikan, semua itu mungkin tidak akan terwujud apabila Sang Pendamping tidak ikut aktif berperan terutama fungsinya sebagai Ibu Rumah Tangga.
Ibu Soediyati Marni Adiwiyata merupakan sosok pendamping suami yang patutlah dicontoh, ditiru dan diteladani.
Ibu Soediyati Marni Adiwiyata, istri teladan yang telah berhasil mendampingi Suami–Sang Perintis dengan memberikan semangat, dorongan, pengertian yang mendalam dengan tanggung jawab sebagai istri pendamping suami.
Juga merupakan ibu teladan yang dengan segala kemampuannya serta pembawaan rela berkorban disamping sifat gemi ati–ati, telah berhasil mendidik Putra–Putrinya sehingga menjadi orang yang dapat dikatakan mapan.
Beliau sebagai istri teladan pendamping seorang Guru Pendidik yang mana ditahun 50-an keadaan ekonomi masyarakat pada umumnya dan seorang pendidik pada khususnya cukup membuat prihatin tetapi beliau dengan sifatnya yang rela berkorban demi keluarga dan sifat yang gemi ati–ati, telah berhasil mewujudkan cita-cita keluarga dan juga pasti merupakan cita–cita dambaan setiap orang.
Yaitu ditahun 1953 tahun yang cukup sulit toh beliau bersama–sama suami berhasil membangun sebuah rumah.
Dengan kemampuan yang dimiliki Bapak M.Marni Adiwiyata untuk membangun rumah tersebut, gambar – maket rumah beliau sendiri yang membuatnya.
Dan untuk menekan biaya maka pembuatan batu bata, semen merah, pembuatan kusen–kusen dari bahan kayu jati glondongan yang harus digergaji dulu, dikerjakan oleh tukang–tukang ditempat lokasi rumah yang akan didirikan, dalam arti kata dikerjakan sendiri.
Dalam hal ini peranan Ibu Soediyati sang istri teladan sangat menentukan sekali.
Dimana setiap hari beliau disibukkan dengan tugas menyiapkan makan bagi semua tukang-2, dalam waktu cukup lama, beliau juga masih harus menyiapkan makanan yang bergizi bagi Putra–Putrinya.
Lima tahun kemudian ( 1958 ) bangunan utama rumah sudah dapat diselesaikan sehingga pada saat itulah Bapak M.Marni Adiwiyata beserta keluarganya pindah menempati rumah barunya.
Akhirnya Alhamdulillah dengan perjuangan yang cukup berat rumah dengan gaya rumah Belanda baru bisa selesai 100% di tahun 1980.
Bayangkan bagaimana beratnya tugas Ibu Sang Istri teladan 23 tahun membuat rumah disamping harus membiayai sekolah dan kuliah diluar kota bagi Putra–Putrinya.                   
Tugas yang kita anggap berat itu atas Kuasa , Karunia dan Rhido-Nya semuanya berjalan dengan baik dan selesai sesuai harapan.  Terima kasih Tuhan.

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’un
·         Bapak Mas Marni Adiwiyata :
 Lahir   : Trenggalek,  15 Oktober 1908
 Wafat : Tulungagung  26 Desember 1991
·         Ibu Soediyati Adiwiyata :
Lahir   : Trenggalek  28 September 1918
Wafat : Tulungagung  08 Februari  2006
Dimakamkan  di    :  Pemakaman  desa Bolorejo, Kalangbret – Tulungagung – Jawa Timur.




Ibu Soediyati  dan  Bapak Mas Marni Adiwiyata


Belliati,  Armini,  Hariasa,  Rimanang,  Priwosono


KERTAS-KERTAS USANG PENINGGALAN PAK GURU “MARNI” SANG PERINTIS PENDIRI SEKOLAH LANJUTAN DI KOTA TULUNGAGUNG
Menerima setumpuk surat-surat yang kertasnya sudah berwarna coklat itu, kami sangat surprise dan kaget……. Saat itu yang ada dibenak kami, Wah….! Gawat….! takutnya begitu dibuka lembaran surat-surat yang sudah usang tersebut akan sobek ditangan kami karena melihat dari warna kertasnya yang sudah  lapuk sekali. Dengan sangat hati-hati kami buka lembaran surat tersebut satu persatu, terkesan untuk pertama kali dibenak kami, alangkah bagusnya kualitas kertas zaman dahulu walaupun kertas-kertas tersebut sudah ada yang berusia 80 tahun lebih…. tapi masih bagus dan tidak lapuk dimakan usia.
Kami membaca arsip-arsip surat yang bahasanya kami tidak mengerti karena berbahasa Belanda. Rapot beliau sewaktu sekolah di Negeri Belanda pun masih ikut tersimpan bersama arsip lain. Kami sangat terkesan sekali dan bertambah kagum dengan Pak Guru Marni karena didalam salah satu surat tersebut kami mendapatkan fakta baru ternyata Pak Guru Marni bukan hanya Kepala SMPN di Tulungagung tapi pernah juga ditunjuk merangkap sebagai Kepala SMP Partikelir di Bendilwungu mulai 1 Oktober 1949 dengan SK a.n. Wakil Menteri PP dan K  Karesidenan Surabaya / Kediri, dengan nomor surat 246/M tertanggal 13 Oktober 1949. Mungkin pada saat itu sebagai lulusan Sekolah Guru dari Negeri Belanda beliau dianggap orang pribumi pertama yang bisa memajukan anak-anak pribumi saat itu. Selain Pak Marni sendiri sangat ingin melihat anak-anak pribumi mengenyam pendidikan seperti orang Belanda dan asing lainnya.
PAK GURU MARNI benar-benar dapat disebut TOKOH PERINTIS PENDIDIKAN di Kota TULUNGAGUNG. Kami jadi ingat pepatah yang mengatakan : Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan Nama dan Jasa baik. Kami yakin banyak murid-murid beliau lulusan SMP, SMA dan SMEA Tulungagung yang berprestasi, berhasil dan sukses menjadi “orang penting” dengan menempati posisi strategis di pemerintahan maupun swasta, dan menjadi profesional-profesional yang handal dan sukses. Dengan melihat dari “ATAS SANA”, kami yakin Pak Guru Marni bangga karena perjuangan beliau dapat dirasakan oleh masyarakat Tulungagung khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Terima Kasih Pak Guru…. Semoga semua perjuangan dan amal ibadah Bapak diterima di sisi Allah SWT. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para Pahlawan.