Tulisan ini kami buat dua
puluh tahun yang lalu sesaat setelah memperingati Kawin Emas (50 tahun) Bapak M.Marni Adiwiyata ( alm. ) dengan
sumber berita dari Harian Kompas
tanggal 29 Agustus 1984, Jawa Pos
tanggal 5 Mei 1984 dan tanggal 21 Maret 1985 dan juga cerita langsung dari
Almarhum.
PAK
GURU SANG PERINTIS PENDIRI SEKOLAH LANJUTAN
YANG
HAMPIR TERLUPAKAN
s
|
ang surya pagi kembali memancarkan
sinarnya di pagi ini. Seluruh warga Tulungagung menyambutnya dengan gembira,
dengan suatu harapan hari ini akan lebih baik dari hari sebelumnya.
Tulungagung kota kecil yang penuh kedamaian yang terletak di Timur
Pulau Jawa, dimana salah satu warganya telah mengisi seluruh kehidupannya
dikota ini dengan melahirkan, membesarkan dan mendidik Putra–Putrinya dengan
penuh kasih sayang dan penuh kedisplinan.
Begitu cepatnya waktu berpacu dari
hari ke hari berganti ke bulan, dan bulan berganti pula ke tahun, terus silih
berganti dari tahun ke tahun.
Pembangunan kota Tulungagung begitu
cepatnya berkembang kearah suatu kemajuan dan keindahan.
Salah satu warga yang kami sebut
diatas tidak lain adalah sosok Sang Perintis pendiri Sekolah Lanjutan yaitu Bapak
Mas Marni Adiwiyata.
Kurang lengkaplah bila kita semua
tidak mengingat kembali Sejarah Perjalanan – Perjuangan hidup Bapak M.Marni
Adiwiyata yang sangat kita cintai.
Lahir
15 Oktober 1908 Bapak M.Marni Adiwiyata putra bungsu dari dua bersaudara, putra
seorang juru tulis desa atau Carik di desa Ngulan Trenggalek.
Setamat pendidikan H.I.S di Trenggalek
tahun 1921 meneruskan pendidikan masuk Kweek School ( Sekolah Guru ) di kota
Blitar dan diselesaikan di kota Jogyakarta.
Lulus dari Sekolah Guru tahun 1926
beliau langsung diangkat menjadi Kepala SD Swasta (Schakel School ) di
Trenggalek.
Dibalik keberhasilan beliau terselip
cita–cita ingin belajar keluar negeri. Untuk mewujudkan cita–cita itu beliau
pindah ke Probolinggo menjadi guru H.I.S di kota tersebut.
BELAJAR DI
NEGERI ORANG
Juli tahun
1932 atas biaya sendiri Bapak M.Marni Adiwiyata dengan naik kapal laut menuju
Negeri Belanda untuk mencari ilmu.
Tanpa sulit tes yang diajukan dapat
diselesaikan dengan baik. Beliau berhasil diterima di Nuts Kweek School di kota
Nijmegen dekat perbatasan Jerman.
Selama belajar di Negeri Belanda
hingga tahun 1937 hanya tiga bulan beliau tinggal dipemondokkan. Selebihnya menetap dikamar hotel karena selain
mencari ilmu di Negeri orang beliau bekerja dihotel tersebut.
Diakui oleh beliau cara tersebut
banyak menguntungkan karena bisa selalu bergaul dengan tamu–tamu dan para
karyawan hotel sebagai sarana komunikasi langsung guna memperlancar berbahasa
asing.
Nuts
Kweek School di Guyostraat, Nijmegen Belanda tempat belajar Bapak M. Marni
Adiwiyata
Setibanya
ditanah air kembali (1938) beliau langsung diterima menjadi Kepala H.I.S di
Tanah Abang Jakarta.
Ijazah guru yang beliau dapat dari
Negeri Belanda bernilai tinggi pada waktu itu. Beliau menjadi guru pribumi sama
derajatnya dengan guru–guru bangsa Belanda.
Setahun kemudian beliau dipindah dan
diangkat menjadi guru H.C.S ( Hollands Chinesche School ) dikota Banjarmasin –
Kalimantan.
Tahun
1940 tanggal 26 Juli gadis Trenggalek yang mengenyam pendidikan Mulo dikota Blitar,
Ibu Soediyati putri keenam dari Bapak-Ibu Soerodisastro resmi menjadi
pendamping Bapak M. Marni Adiwiyata.
Dan selanjutnya berdampingan menempuh
hidup baru di Banjarmasin sampai lahirlah Putri pertamanya.
Bangunan ini adalah bekas HCS dimana Bapak Marni
Adiwiyata mengajar tahun 1939 s/d 1941 di Banjarmasin.
Bangunan ini sampai sekarang tidak berubah bentuk dan kayunya. Sekarang dipakai
untuk SMP 10 dan S.M.E.A Swasta ( Foto 24 Januari 1981 )
Tangga depan gedung bekas HCS (Hollands Chinesche
School) di Banjarmasin dimana Bapak Marni mengajar pada tahun 1939 s/d 1941
sekarang dipakai untuk SMP 10. ( Foto 24 Januari 1981 )
Disinilah tempat tinggal / rumah Bapak Ibu Marni Adiwiyata
selama di Banjarmasin pada tahun 1939 s/d 1941. Sekarang menjadi toko buku. (
Foto 24 Januari 1981 )
MERINTIS BERDIRINYA S.M.P
Menjelang pecah perang Pasifik –
Jepang masuk Indonesia tahun 1942 Bapak M. Marni Adiwiyata beserta keluarga
pulang kembali ke Trenggalek (mengungsi).
Mengawali
kariernya sebagai pendidik sejak awal kemerdekaan, tahun 1946 Bapak M. Marni
Adiwiyata mendirikan S.M.P Swasta di Tulungagung.
Waktu itu di Tulungagung hanya ada
satu Sekolah Lanjutan yaitu Taman Dewasa milik Perguruan Taman Siswa. Sedangkan
untuk S.M.P Negeri yang ada baru dikota Kediri.
Rintisan
itu tidak sia–sia, bulan Juli 1947 berdasarkan Nota Telegram Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan ditetapkanlah S.M.P Swasta Tulungagung
menjadi S.M.P Negeri yang ke-26 di
Indonesia dan
menepati gedung bekas H.C.S zaman Belanda.
Dan terhitung tanggal 1 September
tahun itu juga (1947) beliau diangkat menjadi Kepala Sekolahnya.
Dengan tenaga guru yang tak genap
sepuluh orang waktu itu Bapak M. Marni Adiwiyata yang menguasai secara aktif
empat bahasa asing yaitu bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis dan
bahasa Inggris juga ikut aktif mengajar disekolah tersebut dengan tekun dan
penuh disiplin.
Jauh sebelum beliau memasuki masa
pensiun sebagai Kepala S.M.P Negeri Tulungagung 5 Oktober 1966, dikota tersebut
sudah mulai banyak S.M.P baik Negeri maupun Swasta.
Foto bersama Guru dan murid.
Guru-2 foto bersama saat Ulang Tahun SMP Negeri Tulungagung (17 Juli 1958)
Berlatar belakang ruang yg saat ini menjadi ruangan Kepala Sekolah
Foto perpisahan Guru didepan halaman Sekolah 29 Agustus '58 (diambil dari jalan raya)
Dilokasi tsb.saat ini telah dibangun Joglo
Foto perpisahan 2 Guru didepan halaman Sekolah Juli 1960 (diambil dari halaman utara)
Dilokasi tsb. saat ini telah dibangun Joglo.
Keterangan spt diatas ( difoto dari depan kelas lihat foto dibawah)
Latar belakang terlihat lorong (sebelah kiri), saat ini telah dibangun dan berubah
fungsi menjadi ruang tamu. Ruang kelas sebelahnya menjadi ruang rapat.
Lokasi Foto di halaman tengah Sekolahan.
Terlihat latar belakang sebelah kanan 2 bangunan kelas, yg sampai saat ini
tetap dipertahankan keberadaannya. Saat ini bangunan kuno itu dikelilingi
ruangan-2 kelas yg dibangun bertingkat.
PANGGILAN “NURANI”
Melihat banyaknya lulusan S.M.P
Tulungagung yang kebingungan karena tidak mampu meneruskan ke Sekolah Lanjutan
Atas yang baru ada dikota lain diluar Tulungagung, dimana pada waktu itu se
Karesidenan Kediri hanya baru ada satu S.M.A dikota Kediri.
Oleh karena itu Bapak M.Marni
Adiwiyata merasa terpanggil untuk mengatasi kesulitan tersebut tanpa
memperhitungkan untung ruginya bagi pribadi beliau.
Sehingga
ditahun 1957 semasa beliau masih menjabat Kepala S.M.P Negeri beliau merintis
mendirikan S.M.A Mardi Putro, yang merupakan S.M.A Swasta pertama di
Tulungagung dan sekaligus beliau diangkat menjadi Kepala Sekolahnya.
Pada masa itu S.M.A Mardi Putro hanya
memiliki satu jurusan saja yaitu Jurusan C ( Jurusan Tatabuku ).
Sedangkan untuk mendirikan S.M.A
Negeri syaratnya cukup berat. Dimana S.M.A Negeri harus memiliki tiga jurusan
yaitu Jurusan A ( Jurusan Sastra ), Jurusan B ( Jurusan Ilmu Pasti ) dan
Jurusan C ( Jurusan Tatabuku ).
Pada
waktu itu untuk mendapatkan / mencari guru pengajar S.M.A masih sangat sulit,
terutama guru pengajar bahasa asing ( Bahasa Jerman dan Bahasa Perancis )
demikian juga guru pengajar Ilmu Pasti sehingga dapat dikatakan guru–guru
tersebut termasuk guru yang langka waktu itu.
Untuk memenuhi syarat tersebut, berkat
perjuangan, tekad dan usaha yang gigih dari Sang Perintis Bapak M.Marni
Adiwiyata tidaklah terlalu sulit untuk dicapai.
Akhirnya dua tahun kemudian S.M.A
Mardi Putro ditetapkan menjadi S.M.A Negeri.
Penguasaan beberapa bahasa asing oleh
beliau sangat berfaedah.
Beliau menjadi guru bahasa Jerman dan
bahasa Perancis di S.M.A Negeri tersebut sekaligus tetap menjadi Kepala
Sekolahnya disamping beliau sebagai Kepala S.M.P Negeri 1.
Setelah guru–guru pengajar lengkap
semua dan dengan telah ditetapkan oleh Pemerintah Kepala S.M.A Negeri yang definitif,
Bapak M.Marni Adiwiyata otomatis menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan S.M.A
Negeri tersebut yang terus berkembang sampai sekarang.
SANG PERINTIS MENDIRIKAN S.M.E.A
Disela–sela kesibukan beliau sebagai
Kepala S.M.P Negeri 1 selepas sebagai Kepala S.M.A Negeri, Sang Perintis pun
mulai memikirkan perlu adanya Sekolah Kejuruan Tingkat Atas bagi khususnya
warga Tulungagung.
Dimana pada waktu itu di Jawa Timur
baru ada tiga atau empat Sekolah Kejuruan Tatabuku Tingkat Atas ( S.M.E.A ).
Dengan bantuan beberapa rekan guru
didirikanlah S.M.E.A pertama di Tulungagung pada tahun 1961 dan beliau ditunjuk
lagi sebagai Kepala Sekolahnya.
Nama
Mardi Putro yang tidak dipakai lagi setelah S.M.A di Negeri kan tetap digunakan
untuk nama S.M.E.A sebagai S.M.E.A Mardi
Putro.
Dengan menempati bangunan bekas gudang
tembakau milik seorang Tionghoa yang disewa dan ujian Negara demi ujian Negara
dilalui dengan sukses oleh para siswa S.M.E.A Mardi Putro akhirnya rintisan
beliau pun berhasil juga.
S.M.E.A Mardi Putro ditahun 1973
berubah statusnya menjadi S.M.E.A Negeri Tulungagung.
Masa pensiun bukan masa istirahat bagi
beliau, terbukti semasa pensiun beliau masih aktif mengajar bahasa Jerman dan
bahasa Perancis di S.M.A Negeri sampai tahun 1973, mengajar di S.M.E.A Negeri sampai
tahun 1977 dan di S.M.A Katolik sampai tahun 1981. Selain itu beliau pun masih
aktif memberikan les pribadi untuk bahasa asing dirumah.
Pengunduran
diri sebagai pengajar disekolah–sekolah tersebut dikarenakan permohonan dan
atas desakan dari para Putra–Putri beliau. Dimana yang sebenarnya sekolah–sekolah
tersebut masih sangat memerlukan tenaga dan pikiran beliau terutama dalam
bidang bahasa asing khususnya bahasa Jerman dan bahasa Perancis.
Dari pengalaman beliau yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan, menurut beliau : Salah satu kunci sukses
belajar adalah tidak cukup hanya dengan bimbingan guru bermutu tetapi haruslah
diikuti dan dilandasi dengan tekad dan kemauan yang kuat, disertai dengan cara
belajar yang baik dengan jalan terus–menerus melatih diri, selain itu jangan
merasa lekas berpuas diri.
Untuk menumbuhkan tekad dan kemauan
yang keras peranan orang tua sangatlah menunjang.
KELUARGA SANG PERINTIS
Bapak M.Marni Adiwiyata yang lahir
tanggal 15 Oktober 1908 menikah tanggal 26 Juli 1940 dengan Ibu Soediyati yang
lahir tanggal 28 September 1918 kini tenang mendampingi Putra–Putrinya yang
masing–masing beliau beri nama yang mengandung arti.
Putra
pertama lahir tanggal 17 Juni 1941 beliau beri nama Belliati. Belli berarti baik, ati adalah hati.
Maksudnya diharapkan Putri pertama beliau ini menjadi orang yang baik hati,
mulia dan berbudi luhur.
Putra
kedua diberi nama Armini. Armi berarti tentara, ni berarti saat ini. Nama Armini beliau tandakan
untuk Putrinya ini karena kelahiran Putri beliau ini sewaktu masa pecah perang,
diwaktu saat mengungsi tahun 1942 tanggal 29 September.
Putra
ketiga beliau beri nama Hariasa. Hari berarti waktu / saat, asa
berarti harapan. Lahir 2 April tahun
1944.
Mempunyai arti gabungan : Tahun 1944
waktu itu sudah ada harapan Indonesia akan bisa merdeka. Dan juga mengandung arti
: Keinginan beliau Putra yang ketiga ini menjadi orang yang bisa diharapkan
dalam segala hal sehingga bisa menjadi teladan keluarga.
Setelah dewasa atas inisiatif Putranya
sendiri nama berubah menjadi Hariasa Adiwiyata.
Putra
keempat beliau beri nama Priwisono
yang berarti Pemerintahan Republik Indonesia wis ono ( sudah ada ) karena
lahir setelah Proklamasi yaitu tahun 1946 tanggal 3 Mei.
Yang akhirnya setelah dewasa juga
mengikuti jejak kakaknya, namanya dilengkapi menjadi Priwisono Adi.
Putra
terakhir si Ragil beliau beri nama Rimanang
yang mempunyai arti Republik Indonesia
Menang. Lahirnya setelah Agresi kedua setelah keadaan Negara cukup tenang
yaitu tahun 1950 tanggal 7 Maret.
Melihat nama bapaknya dipakai oleh
kakak–kakaknya si Ragil juga ingin sama karena sama–sama putranya Bapak
Adiwiyata dan bertambahlah namanya menjadi Rimanang Adi.
Keberhasilan
/ kesuksesan Bapak M.Marni Adiwiyata dalam mendidik Putra-Putrinya demikian
juga suksesnya karier beliau dalam dunia pendidikan, semua itu mungkin tidak
akan terwujud apabila Sang Pendamping tidak ikut aktif berperan terutama
fungsinya sebagai Ibu Rumah Tangga.
Ibu Soediyati Marni Adiwiyata
merupakan sosok pendamping suami yang patutlah dicontoh, ditiru dan diteladani.
Ibu Soediyati Marni Adiwiyata, istri
teladan yang telah berhasil mendampingi Suami–Sang Perintis dengan memberikan
semangat, dorongan, pengertian yang mendalam dengan tanggung jawab sebagai
istri pendamping suami.
Juga merupakan ibu teladan yang dengan
segala kemampuannya serta pembawaan rela berkorban disamping sifat gemi ati–ati,
telah berhasil mendidik Putra–Putrinya sehingga menjadi orang yang dapat
dikatakan mapan.
Beliau sebagai istri teladan
pendamping seorang Guru Pendidik yang mana ditahun 50-an keadaan ekonomi
masyarakat pada umumnya dan seorang pendidik pada khususnya cukup membuat
prihatin tetapi beliau dengan sifatnya yang rela berkorban demi keluarga dan
sifat yang gemi ati–ati, telah berhasil mewujudkan cita-cita keluarga dan juga
pasti merupakan cita–cita dambaan setiap orang.
Yaitu ditahun 1953 tahun yang cukup
sulit toh beliau bersama–sama suami berhasil membangun sebuah rumah.
Dengan kemampuan yang dimiliki Bapak
M.Marni Adiwiyata untuk membangun rumah tersebut, gambar – maket rumah beliau
sendiri yang membuatnya.
Dan untuk menekan biaya maka pembuatan
batu bata, semen merah, pembuatan kusen–kusen dari bahan kayu jati glondongan
yang harus digergaji dulu, dikerjakan oleh tukang–tukang ditempat lokasi rumah
yang akan didirikan, dalam arti kata dikerjakan sendiri.
Dalam hal ini peranan Ibu Soediyati
sang istri teladan sangat menentukan sekali.
Dimana setiap hari beliau disibukkan
dengan tugas menyiapkan makan bagi semua tukang-2, dalam waktu cukup lama, beliau
juga masih harus menyiapkan makanan yang bergizi bagi Putra–Putrinya.
Lima tahun kemudian ( 1958 ) bangunan
utama rumah sudah dapat diselesaikan sehingga pada saat itulah Bapak M.Marni
Adiwiyata beserta keluarganya pindah menempati rumah barunya.
Akhirnya Alhamdulillah dengan
perjuangan yang cukup berat rumah dengan gaya rumah Belanda baru bisa selesai
100% di tahun 1980.
Bayangkan bagaimana beratnya tugas Ibu
Sang Istri teladan 23 tahun membuat rumah disamping harus membiayai sekolah dan
kuliah diluar kota bagi Putra–Putrinya.
Tugas yang kita anggap berat itu atas
Kuasa , Karunia dan Rhido-Nya semuanya berjalan dengan baik dan selesai sesuai
harapan. Terima kasih Tuhan.
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’un
·
Bapak
Mas Marni Adiwiyata :
Lahir
: Trenggalek, 15 Oktober 1908
Wafat : Tulungagung 26 Desember 1991
·
Ibu
Soediyati Adiwiyata :
Lahir
: Trenggalek 28 September 1918
Wafat : Tulungagung 08 Februari
2006
Dimakamkan di
: Pemakaman desa Bolorejo, Kalangbret – Tulungagung –
Jawa Timur.
Ibu Soediyati dan Bapak
Mas Marni Adiwiyata
Belliati, Armini, Hariasa, Rimanang, Priwosono
KERTAS-KERTAS
USANG PENINGGALAN PAK GURU “MARNI” SANG PERINTIS PENDIRI SEKOLAH LANJUTAN DI
KOTA TULUNGAGUNG
Menerima
setumpuk surat-surat yang kertasnya sudah berwarna coklat itu, kami sangat
surprise dan kaget……. Saat itu yang ada dibenak kami, Wah….! Gawat….! takutnya
begitu dibuka lembaran surat-surat yang sudah usang tersebut akan sobek
ditangan kami karena melihat dari warna kertasnya yang sudah lapuk sekali. Dengan sangat hati-hati kami
buka lembaran surat tersebut satu persatu, terkesan untuk pertama kali dibenak
kami, alangkah bagusnya kualitas kertas zaman dahulu walaupun kertas-kertas
tersebut sudah ada yang berusia 80 tahun lebih…. tapi masih bagus dan tidak
lapuk dimakan usia.
Kami
membaca arsip-arsip surat yang bahasanya kami tidak mengerti karena berbahasa
Belanda. Rapot beliau sewaktu sekolah di Negeri Belanda pun masih ikut
tersimpan bersama arsip lain. Kami sangat terkesan sekali dan bertambah kagum
dengan Pak Guru Marni karena didalam salah satu surat tersebut kami mendapatkan
fakta baru ternyata Pak Guru Marni bukan hanya Kepala SMPN di Tulungagung tapi
pernah juga ditunjuk merangkap sebagai Kepala SMP Partikelir di Bendilwungu
mulai 1 Oktober 1949 dengan SK a.n. Wakil Menteri PP dan K Karesidenan Surabaya / Kediri, dengan nomor
surat 246/M tertanggal 13 Oktober 1949. Mungkin pada saat itu sebagai lulusan
Sekolah Guru dari Negeri Belanda beliau dianggap orang pribumi pertama yang
bisa memajukan anak-anak pribumi saat itu. Selain Pak Marni sendiri sangat
ingin melihat anak-anak pribumi mengenyam pendidikan seperti orang Belanda dan
asing lainnya.
PAK GURU
MARNI benar-benar
dapat disebut TOKOH PERINTIS
PENDIDIKAN di Kota TULUNGAGUNG.
Kami jadi ingat pepatah yang mengatakan : Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati
meninggalkan Nama dan Jasa baik.
Kami yakin banyak murid-murid beliau lulusan SMP, SMA dan SMEA Tulungagung yang
berprestasi, berhasil dan sukses menjadi “orang penting” dengan menempati
posisi strategis di pemerintahan maupun swasta, dan menjadi profesional-profesional
yang handal dan sukses. Dengan melihat dari “ATAS SANA”, kami yakin Pak Guru
Marni bangga karena perjuangan beliau dapat dirasakan oleh masyarakat
Tulungagung khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Terima Kasih Pak
Guru…. Semoga semua perjuangan dan amal ibadah Bapak diterima di sisi Allah
SWT. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para
Pahlawan.