Selasa, 09 Juli 2013

50 TAHUN SUDAH, KITA PERNAH MENIMBA ILMU DISINI

Gedung SMPN  I T.Agung telah berubah "wajah"
Lima puluh tahun yg lalu kita tepatnya tgl. 1 Agustus 1962
unt. pertama kalinya kita menginjakkan kaki disini sbg murid SMPN I.
Hari ini Minggu tgl. 30 Juni 2013 kita menapakkan kaki disini lagi.
 

 Ruang Resepsionis


 Salah satu Penghargaan yg dicapai SMPN  I  T.Agung

 Ketua Panitia Reuni Sumarsono sdg menyapa Para Hadirin

 Bpk. Sukardjo mantan Guru Goneometri mewakili 
sesama mantan Guru memberkan Kesan - Pesan

 Kiri : Ibu Yaumi mantan guru Bhs.Ind. kita di SMPN I  T.Agung
Tengah : Ibu Haryono (Isteri alm. bpk. Haryono mantan Kep.Sek  ke II )
Kanan : Ibu Belliyatie mantan guru Kimia kita di SMAN T.Agung

 Teman kita Muharini sedang menyapa Ibu Yaumi.
Kita sangat bahagia & bangga salah satu putri nya menjadi
pendidik sekaligus sbg Wakil Kepala Sekolah di SMPN I  T.Agung

Bpk. Nurhadi mantan Guru SMAN  menyapa Mantan guru SMPN

 Wakil Kepala SMPN I  Ibu Leny Agustina dgn
salah satu Panitia Reuni sedang serius.

 Ibu Bellyatie mantan guru Kimia sedang berpose
dgn Sumrsono mantan murid nya di SMAN T.Agung

 Mantan Guru dan Mantan Murid yg sekarang mempunyai
"gelar" sama yaitu menjadi Nenek / Kakek.

 Foto bersama bagaikan remaja masa kini.

 Biarpun telah menyandang gelar Kakek / Nenek minat
untuk bernyanyi tdk lah surut.


 
50 tahun tidak bertemu tetapi tetap kompak dgn lagu-2
tahun 60 - an




Senin, 08 Juli 2013

KETELADANAN DARI KEBUN GULA


Perjalanan hidup Ir. M. Fauzi Toha putra Tulungagung murid Bpk. M. Marni Adiwiyata di SMPN , SMAN Tulungagung, yang telah ikut berjasa dalam mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara men-sejahterakan dan “mendidik” khususnya warga Tulangbawang (Bandar Lampung).
Tulisan ini dikutip dan disalin dari Buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung hal. 229 – 232 dan telah mendapat izin dari beliau Ir. M. Fauzi Toha tgl. 7 Juli 2013



`KETELADANAN  DARI  KEBUN  GULA
Semua bermula tahun 1976, Tulangbawang (dulu bagian dari Lampung Tengah) masih hutan.  Pabrik gula PT. Gunung Madu Plantation  menugaskan Ir. M. Fauzi Toha ke daerah yang teramat baru baginya itu. Ijazah Insitut Pertanian Bogor yang dipegangnya masih hangat. Fauzi muda baru lulus kuliah, melamar kerja dan langsung diterjunkan ke rimba di pedalaman Lampung.
Tapi baginya itu bukan persoalan. Sejak kecil etos kerja keras, kesantunan dan nilai-nilai keagamaan menjadi tonggaknya mengarungi hidup. Sejak Sekolah Menengah, Fauzi terbiasa kerja serabutan dan menguasai banyak “ilmu hidup” termasuk belasan jam sehari membatik , lalu memasarkannya. Belasan tahun pula ia jalani dengan tiga rutinitas :  Sekolah, membatik malamnya mengaji, sambil belajar mencari nafkah. Maka penugasan ke pedalaman Lampung saat itu diterimanya dengan kenyakinan tinggi. “Didikan orang tua sangat mewarnai perjalanan hidup saya”, kata Fauzi.
Kesarjanaannya di bidang teknologi pertanian untuk sementara masuk saku dahulu. Pabrik belum apa-apa. Yang ada baru land clearing. Jalan raya Terbanggibesar masih berupa jalan kasar peninggalan Belanda. Suasana sepi sangat menggigit. Suara hewan liar menjadi keseharian.
Mulailah Fauzi bergaul dengan para buruh dan pekerja yang lebih dahulu hadir. Modalnya Cuma satu : Dia senantiasa berkromo-inggil dengan para buruh dan pekerja kasar. Secara cultural, bahasa Jawa halus yang dia pakai justru membuat lawan bicaranya kian merunduk; hatipun terbeli. Maka langkah berikut menjadi mudah. “Tidak ada yang rumit ketimbang mengelola sumber daya manusia “ kata dia.
Kerja berikut tinggal masalah-masalah teknik, kendali tingkat kesulitan di lapangan berbeda-beda. Meskipun demikian ada yang membuat bisnis perkebunan menjadi penuh komplikasi gawat. Pembebasab lahan. Resistensi di masyarakat menyeruak. Di banyak aspek, hadirnya pihak ketiga yang menunggangi membuat tensi masalah makin tinggi.
“Saya senang menerima pekerjaan yang orang lain enggan menerimanya, seperti pembebasan lahan,” kata ayah tiga putra/putri ini. Job penuh resiko, tanpa bonus, tanpa pertanggungan apapun, dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
Tidak pelak kariernya mulai naik. Dalam dua tahun, banyak seniornya “berubah posisi” menjadi anak buahnya. Perusahaan dengan manajemen yang menghargai prestasi (merit system) ini menjadikan performa karyawan sebagai ukuran dasar. Akuntabilitas yang diberikan dari system penilaian yang dibangun sudah jelas; pekerjaanpun terasa ringan. Maka hampir tiap tahun Fauzi mendapat promosi.
“Awalnya saya tidak berharap lama-lama bekerja di-perusahaan tersebut, kendati kerja sungguh-sungguh dan tak mengenal waktu memang sudah menjadi kebiasaan. Namun, ragam persoalan yang saya selesaikan membuat saya tetap diperlukan perusahaan,” kata pelopor pergulaan Lampung ini. Cukup 3 tahun 6 bulan status manajer sudah dia sandang dan menjadi manajer departemen pada tahun 1982.
Saat itu perusahaan tempatnya bekerja dimiliki konglomerat gula asal Malaysia, Robert Kwok (45%) dan keluarga Presiden (waktu itu) Soeharto. Dalam perjalanan, Kwok menjual saham ke Anthony Salim. Sayang, perusahaan merugi setelah dipegang Anthony. Tahun 1992, taipan Liem Sioe Liong orang tua Anthony, bertemu Kwok dan meminta perusahaan diselamatkan. Tapi prosesnya tidak mulus. Keluarga Cendana keberatan.
“Namun, jika dua taipan China bertemu dan bersalaman, itulah hukum tertinggi dalam berbisnis dengan para konglomerat,” kata Fauzi. Maka bisnis dan merger tetap dilanjutkan tanpa nota kesepahaman (MoU) atau segala bentuk perjanjian tertulis lainnya.
Rencana merger ini memang terlalu cepat. Sebagai orang yang diamanatkan, Fauzi bergerak cepat.  Perluasan kebun dikebut. “Target 6.000  hektare per tahun, saya gandakan menjadi 12.000 hektare setahun atau seribu hektare saban bulan,” kata Fauzi.
Di satu sisi ada kelompok yang menguasai dengan cara menjarah lahan, di sisi lain ada pula karyawan yang terlibat penjarahan itu. Ketegasan Fauzi diuji : Pemecatan dilakukan bergelombang untuk menimbulkan efek jera. Tidak ada ampun. Pemecatan juga dilakukan bagi karyawan yang terlibat pencurian dan perzinahan. “Apa jadinya kita, dengan tempat seperti ini, jika ada yang menoleransi perbuatan-perbuatan tercela seperti itu. Ini bukan kebun binatang,” kata dia.
Dalam 18 bulan, persoalan tanah bisa diselesaikan. Dalam setahun, perusahaan yang didera kerugian itupun terselamatkan.
Resepnya, Fauzi memaksimalkan karyawan sendiri. Fauzi meyakinkan bahwa perusahaan maju maka karyawan pun akan maju. Dengan persuasi selama ini, seluruh karyawan yang terserak dalam banyak divisi disatukan. “Saya seperti menyatukan lidi-lidi. Dengan bersatu justru kita kuat. Saya sebagai pimpinan merasa seperti harimau yang melindungi anak-anaknya dengan beragam cara,” kata pengajar di pascasarjana IPB dan LPPM Jakarta ini.
Untuk mengantisipasi aksi-aksi kekerasan yang kerap mengiringi pembebasan lahan, Perguruan Silat Merpati Putih didatangkan. Seluruh karyawan berlatih. Dalam apel besar, Fauzi memeragakan kemampuannya mematahkan pipa-pipa besi dengan tangan kosong. “ Sekedar untuk menumbuhkan semangat dan keyakinan anak-anak,” kata dia.
Tahun 1994, PT Sweet Indo Lampung (SIL) berdiri. Setahun berikutnya berdirilah Indo Lampung Perkasa (ILP). Fauzi memperkuat pabrik baru tersebut. Lalu diikuti pendirian PT Gula Putih Mataram dan PT Indo Lampung Distillery. Kelak, dari sinilah kemudian lahir bio-etanol dengan bahan dasar tetes tebu. Produksi bio-etanol nya telah diuji coba di kendaraan dengan campuran sampai 85% etanol dan hanya 15% premium.
Dalam perjalanan selanjutnya, terjadi peralihan kepemilikan ke Garuda Panca Artha dan menjadi Sugar Group Companies (SGC).  SGC kemudian menjadi perusahaan gula yang terintegrasi serta terbesar dan terefisien di dunia.
“Saya heran kenapa susah sekali berbisnis perkebunan di negara ini, banyak sekali ganggunannya. Amat berbeda dengan bisnis pertambangan  : Keduk , Angkut , Tinggalkan. Demikian pula dengan penguasaan hutan. Cukup dengan selembar HPH (Hak Pengusahaan Hutan), pohon-pohon ditebangi lalu sering ditinggalkan,” kata dia. Dia mengilustrasikan diperlukan 10 tahun untuk menghasilkan varietas tebu terbaik. Dari 150 ribu persilangan, belum tentu bisa dihasilkan satu yang bagus.
Sekarang, Fauzi memang sudah dipuncak karier. Namun, itu bukan sepetak jalan lurus yang tinggal ditapaki. Fauzi yang amat dihormati 50 ribuan karyawannya, termasuk 50 ribuan lagi karyawan tidak tetap, memulai semua dari bawah dengan kompetensi dalam setiap unit yang dia pimpin.
Sampai kini pun dia tetap menguasai penanaman, budi daya, sampai panen dan produksi ; mulai kedalaman pembajakan , pembibitan, pemupukan, pemahaman terhadap cuaca, sampai proses pascapanen. “Jika curah hujan seperti ini, saya tahu dosis pengolahan yang mesti dilakukan,” kata dia.
Kuncinya adalah totalitas. Puluhan tahun sudah Fauzi memilih tinggal di site, di kebun. Beberapa rumahnya di Bandar Lampung hanya dikontrakkan. Rumahnya yang di Jakarta hanya sesekali disambangi saat bertugas ataupun ketika mengajar. Dia full mengabdikan hidupnya buat pengembangan per-gula-an.


Nama       :  M. Fauzi Toha
Lahir        :  Tulungagung, 11 April 1950
Agama     :  Islam
Alamat     :  Jl. Pinguin VII CK3 Sektor III, Bintaro, Jakarta Selatan
Ayah        :  H. M. Thoha Sofwan
Ibu           :  Hj. Chrisny
Istri           :  Hj. Agustina Fauzi
Anak  :
1.      M. Ridho Ficardo S. Pi., M.Si.
2.      Silvy Noviana S.E.
3.      Gita Farina S.Si.
Saudara Kandung :
1.      Hj. Sulistyowati
2.      H. A. Fuad
3.      Drg. Hj. Farida Msi
4.      Ir. H. M. Nuriman
5.      Dr. Ir. Nurianna MBA
Pendidikan  :
-          SD Negeri 3  Tulungagung , 1962
-          SMP Negeri 1  Tulungagung, 1965
-          SMA Negeri 1  Tulungagung, 1968
-          Insitut Pertanian Bogor (Program Studi 6 Tahun), 1976
Karier  :
-          Plantation Manager PT. Gunung Madu Plantation, 1976 – 1993
-          Deputy General Manager PT. Sweet Indo Lampung, 1994 – 1997
-          Deputy General Manager PT. Indo Lampung Perkasa
-          Technical Manager PT. Tiara Adi Kencana, 1997 – 2002
-          Technical Manager PT. Kerry Plt. Service Indonesia
-          Director PT. Tidar Sungkai Sawit
-          Director PT. Mustika Senbuluh
-          Site Director Sugar Group Companies (PT. Gula Putih Mataram, PT. Sweet Indo Lampung, PT. Indo Lampung Perkasa, PT. Indo Lampung Distillery), 2002 – sekarang


Alamat rumah  :
Perumahan Gula Putih Mataram Blok A no. 3   Seputih Mataram, Lampung Tengah

Alamat kantor  :
-          Jalan Cut Mutia no. 58  Bandar Lampung
-          Wisma GKBI Lt. V  Jl. Jend. Sudirman  no. 28  Jakarta

H o b i  :  Olahraga (tenis , jogging)

Moto hidup  :  Bekerja itu ibadah,  Berhenti adalh mati,  Mensyukuri nikmat Allah






                            

Senin, 24 Juni 2013

Sejarah Perjuangan Hidup Eyang Kakung

Tulisan ini kami buat dua puluh tahun yang lalu sesaat setelah memperingati Kawin Emas (50 tahun) Bapak M.Marni Adiwiyata ( alm. ) dengan sumber berita dari Harian Kompas tanggal 29 Agustus 1984, Jawa Pos tanggal 5 Mei 1984 dan tanggal 21 Maret 1985 dan juga cerita langsung dari Almarhum.

PAK GURU  SANG PERINTIS PENDIRI  SEKOLAH LANJUTAN
YANG HAMPIR TERLUPAKAN
s
ang surya pagi kembali memancarkan sinarnya di pagi ini. Seluruh warga Tulungagung menyambutnya dengan gembira, dengan suatu harapan hari ini akan lebih baik dari hari sebelumnya.
Tulungagung kota kecil yang penuh kedamaian yang terletak di Timur Pulau Jawa, dimana salah satu warganya telah mengisi seluruh kehidupannya dikota ini dengan melahirkan, membesarkan dan mendidik Putra–Putrinya dengan penuh kasih sayang dan penuh kedisplinan.
Begitu cepatnya waktu berpacu dari hari ke hari berganti ke bulan, dan bulan berganti pula ke tahun, terus silih berganti dari tahun ke tahun.
Pembangunan kota Tulungagung begitu cepatnya berkembang kearah suatu kemajuan dan keindahan.
Salah satu warga yang kami sebut diatas tidak lain adalah sosok  Sang  Perintis pendiri Sekolah Lanjutan  yaitu  Bapak  Mas Marni Adiwiyata.
Kurang lengkaplah bila kita semua tidak mengingat kembali Sejarah Perjalanan – Perjuangan hidup Bapak M.Marni Adiwiyata yang sangat kita cintai.
            Lahir 15 Oktober 1908 Bapak M.Marni Adiwiyata putra bungsu dari dua bersaudara, putra seorang juru tulis desa atau Carik di desa Ngulan Trenggalek.
Setamat pendidikan H.I.S di Trenggalek tahun 1921 meneruskan pendidikan masuk Kweek School ( Sekolah Guru ) di kota Blitar dan diselesaikan di kota Jogyakarta.
Lulus dari Sekolah Guru tahun 1926 beliau langsung diangkat menjadi Kepala SD Swasta (Schakel School ) di Trenggalek.

Dibalik keberhasilan beliau terselip cita–cita ingin belajar keluar negeri. Untuk mewujudkan cita–cita itu beliau pindah ke Probolinggo menjadi guru H.I.S di kota tersebut.












BELAJAR DI NEGERI ORANG
Juli tahun 1932 atas biaya sendiri Bapak M.Marni Adiwiyata dengan naik kapal laut menuju Negeri Belanda untuk mencari ilmu.
Tanpa sulit tes yang diajukan dapat diselesaikan dengan baik. Beliau berhasil diterima di Nuts Kweek School di kota Nijmegen dekat perbatasan Jerman.
Selama belajar di Negeri Belanda hingga tahun 1937 hanya tiga bulan beliau tinggal dipemondokkan.  Selebihnya menetap dikamar hotel karena selain mencari ilmu di Negeri orang beliau bekerja dihotel tersebut.
Diakui oleh beliau cara tersebut banyak menguntungkan karena bisa selalu bergaul dengan tamu–tamu dan para karyawan hotel sebagai sarana komunikasi langsung guna memperlancar berbahasa asing.

Nuts Kweek School di Guyostraat, Nijmegen Belanda tempat belajar Bapak M. Marni Adiwiyata
            Setibanya ditanah air kembali (1938) beliau langsung diterima menjadi Kepala H.I.S di Tanah Abang Jakarta.
Ijazah guru yang beliau dapat dari Negeri Belanda bernilai tinggi pada waktu itu. Beliau menjadi guru pribumi sama derajatnya dengan guru–guru bangsa Belanda.
Setahun kemudian beliau dipindah dan diangkat menjadi guru H.C.S ( Hollands Chinesche School ) dikota Banjarmasin – Kalimantan.
            Tahun 1940 tanggal 26 Juli gadis Trenggalek yang mengenyam pendidikan Mulo dikota Blitar, Ibu Soediyati putri keenam dari Bapak-Ibu Soerodisastro resmi menjadi pendamping Bapak M. Marni Adiwiyata.
Dan selanjutnya berdampingan menempuh hidup baru di Banjarmasin sampai lahirlah Putri pertamanya.
Bangunan ini adalah bekas HCS dimana Bapak Marni Adiwiyata mengajar tahun 1939 s/d 1941 di Banjarmasin. Bangunan ini sampai sekarang tidak berubah bentuk dan kayunya. Sekarang dipakai untuk SMP 10 dan S.M.E.A Swasta ( Foto 24 Januari 1981 )


Tangga depan gedung bekas HCS (Hollands Chinesche School) di Banjarmasin dimana Bapak Marni mengajar pada tahun 1939 s/d 1941 sekarang dipakai untuk SMP 10. ( Foto 24 Januari 1981 )


Disinilah tempat tinggal / rumah Bapak Ibu Marni Adiwiyata selama di Banjarmasin pada tahun 1939 s/d 1941. Sekarang menjadi toko buku. ( Foto 24 Januari 1981 )



MERINTIS BERDIRINYA S.M.P
Menjelang pecah perang Pasifik – Jepang masuk Indonesia tahun 1942 Bapak M. Marni Adiwiyata beserta keluarga pulang kembali ke Trenggalek (mengungsi).
            Mengawali kariernya sebagai pendidik sejak awal kemerdekaan, tahun 1946 Bapak M. Marni Adiwiyata mendirikan S.M.P Swasta di Tulungagung.
Waktu itu di Tulungagung hanya ada satu Sekolah Lanjutan yaitu Taman Dewasa milik Perguruan Taman Siswa. Sedangkan untuk S.M.P Negeri yang ada baru dikota Kediri.
            Rintisan itu tidak sia–sia, bulan Juli 1947 berdasarkan Nota Telegram Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan ditetapkanlah S.M.P Swasta Tulungagung menjadi S.M.P Negeri yang ke-26 di Indonesia dan menepati gedung bekas H.C.S zaman Belanda.
Dan terhitung tanggal 1 September tahun itu juga (1947) beliau diangkat menjadi Kepala Sekolahnya.
Dengan tenaga guru yang tak genap sepuluh orang waktu itu Bapak M. Marni Adiwiyata yang menguasai secara aktif empat bahasa asing yaitu bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis dan bahasa Inggris juga ikut aktif mengajar disekolah tersebut dengan tekun dan penuh disiplin.
Jauh sebelum beliau memasuki masa pensiun sebagai Kepala S.M.P Negeri Tulungagung 5 Oktober 1966, dikota tersebut sudah mulai banyak S.M.P baik Negeri maupun Swasta.

Foto bersama Guru dan murid.
  
Guru-2 foto bersama  saat Ulang Tahun SMP Negeri Tulungagung  (17  Juli 1958)
Berlatar belakang ruang yg saat ini menjadi ruangan Kepala Sekolah

Foto perpisahan Guru didepan halaman Sekolah  29 Agustus  '58 (diambil dari jalan raya)
Dilokasi tsb.saat ini telah dibangun Joglo


Foto perpisahan 2 Guru didepan halaman Sekolah  Juli 1960 (diambil dari halaman utara)
Dilokasi tsb. saat ini telah dibangun Joglo.

Keterangan spt diatas ( difoto dari depan kelas lihat foto dibawah)
Latar belakang terlihat lorong (sebelah kiri), saat ini telah dibangun dan berubah
 fungsi menjadi ruang tamu. Ruang kelas sebelahnya menjadi ruang rapat.


Lokasi Foto di halaman tengah Sekolahan.
Terlihat latar belakang sebelah kanan 2 bangunan kelas, yg sampai saat ini
tetap dipertahankan keberadaannya. Saat ini bangunan kuno itu dikelilingi
ruangan-2 kelas yg dibangun bertingkat.


   
  
PANGGILAN “NURANI”
Melihat banyaknya lulusan S.M.P Tulungagung yang kebingungan karena tidak mampu meneruskan ke Sekolah Lanjutan Atas yang baru ada dikota lain diluar Tulungagung, dimana pada waktu itu se Karesidenan Kediri hanya baru ada satu S.M.A dikota Kediri.
Oleh karena itu Bapak M.Marni Adiwiyata merasa terpanggil untuk mengatasi kesulitan tersebut tanpa memperhitungkan untung ruginya bagi pribadi beliau.
            Sehingga ditahun 1957 semasa beliau masih menjabat Kepala S.M.P Negeri beliau merintis mendirikan S.M.A Mardi Putro, yang merupakan S.M.A Swasta pertama di Tulungagung dan sekaligus beliau diangkat menjadi Kepala Sekolahnya.
Pada masa itu S.M.A Mardi Putro hanya memiliki satu jurusan saja yaitu Jurusan C ( Jurusan Tatabuku ).
Sedangkan untuk mendirikan S.M.A Negeri syaratnya cukup berat. Dimana S.M.A Negeri harus memiliki tiga jurusan yaitu Jurusan A ( Jurusan Sastra ), Jurusan B ( Jurusan Ilmu Pasti ) dan Jurusan C ( Jurusan Tatabuku ).
            Pada waktu itu untuk mendapatkan / mencari guru pengajar S.M.A masih sangat sulit, terutama guru pengajar bahasa asing ( Bahasa Jerman dan Bahasa Perancis ) demikian juga guru pengajar Ilmu Pasti sehingga dapat dikatakan guru–guru tersebut termasuk guru yang langka waktu itu.
Untuk memenuhi syarat tersebut, berkat perjuangan, tekad dan usaha yang gigih dari Sang Perintis Bapak M.Marni Adiwiyata tidaklah terlalu sulit untuk dicapai.
Akhirnya dua tahun kemudian S.M.A Mardi Putro ditetapkan menjadi S.M.A Negeri.
Penguasaan beberapa bahasa asing oleh beliau sangat berfaedah.
Beliau menjadi guru bahasa Jerman dan bahasa Perancis di S.M.A Negeri tersebut sekaligus tetap menjadi Kepala Sekolahnya disamping beliau sebagai Kepala S.M.P  Negeri 1.
Setelah guru–guru pengajar lengkap semua dan dengan telah ditetapkan oleh Pemerintah Kepala S.M.A Negeri yang definitif, Bapak M.Marni Adiwiyata otomatis menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan S.M.A Negeri tersebut yang terus berkembang sampai sekarang.



SANG PERINTIS MENDIRIKAN S.M.E.A
Disela–sela kesibukan beliau sebagai Kepala S.M.P Negeri 1 selepas sebagai Kepala S.M.A Negeri, Sang Perintis pun mulai memikirkan perlu adanya Sekolah Kejuruan Tingkat Atas bagi khususnya warga Tulungagung.
Dimana pada waktu itu di Jawa Timur baru ada tiga atau empat Sekolah Kejuruan Tatabuku Tingkat Atas ( S.M.E.A ).
Dengan bantuan beberapa rekan guru didirikanlah S.M.E.A pertama di Tulungagung pada tahun 1961 dan beliau ditunjuk lagi sebagai Kepala Sekolahnya.
            Nama Mardi Putro yang tidak dipakai lagi setelah S.M.A di Negeri kan tetap digunakan untuk nama S.M.E.A  sebagai S.M.E.A Mardi Putro.
Dengan menempati bangunan bekas gudang tembakau milik seorang Tionghoa yang disewa dan ujian Negara demi ujian Negara dilalui dengan sukses oleh para siswa S.M.E.A Mardi Putro akhirnya rintisan beliau pun berhasil juga.
S.M.E.A Mardi Putro ditahun 1973 berubah statusnya menjadi S.M.E.A Negeri Tulungagung.
Masa pensiun bukan masa istirahat bagi beliau, terbukti semasa pensiun beliau masih aktif mengajar bahasa Jerman dan bahasa Perancis di S.M.A Negeri sampai tahun 1973, mengajar di S.M.E.A Negeri sampai tahun 1977 dan di S.M.A Katolik sampai tahun 1981. Selain itu beliau pun masih aktif memberikan les pribadi untuk bahasa asing dirumah.
            Pengunduran diri sebagai pengajar disekolah–sekolah tersebut dikarenakan permohonan dan atas desakan dari para Putra–Putri beliau. Dimana yang sebenarnya sekolah–sekolah tersebut masih sangat memerlukan tenaga dan pikiran beliau terutama dalam bidang bahasa asing khususnya bahasa Jerman dan bahasa Perancis.
Dari pengalaman beliau yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, menurut beliau : Salah satu kunci sukses belajar adalah tidak cukup hanya dengan bimbingan guru bermutu tetapi haruslah diikuti dan dilandasi dengan tekad dan kemauan yang kuat, disertai dengan cara belajar yang baik dengan jalan terus–menerus melatih diri, selain itu jangan merasa lekas berpuas diri.
Untuk menumbuhkan tekad dan kemauan yang keras peranan orang tua sangatlah menunjang.
KELUARGA SANG PERINTIS
Bapak M.Marni Adiwiyata yang lahir tanggal 15 Oktober 1908 menikah tanggal 26 Juli 1940 dengan Ibu Soediyati yang lahir tanggal 28 September 1918 kini tenang mendampingi Putra–Putrinya yang masing–masing beliau beri nama yang mengandung arti.
            Putra pertama lahir tanggal 17 Juni 1941 beliau beri nama Belliati. Belli berarti baik, ati adalah hati. Maksudnya diharapkan Putri pertama beliau ini menjadi orang yang baik hati, mulia dan berbudi luhur.
            Putra kedua diberi nama Armini. Armi berarti tentara, ni berarti saat ini. Nama Armini beliau tandakan untuk Putrinya ini karena kelahiran Putri beliau ini sewaktu masa pecah perang, diwaktu saat mengungsi tahun 1942 tanggal 29 September.
            Putra ketiga beliau beri nama Hariasa. Hari berarti waktu / saat, asa berarti harapan. Lahir 2 April tahun 1944.
Mempunyai arti gabungan : Tahun 1944 waktu itu sudah ada harapan Indonesia akan bisa merdeka. Dan juga mengandung arti : Keinginan beliau Putra yang ketiga ini menjadi orang yang bisa diharapkan dalam segala hal sehingga bisa menjadi teladan keluarga.
Setelah dewasa atas inisiatif Putranya sendiri nama berubah menjadi Hariasa Adiwiyata.
            Putra keempat beliau beri nama Priwisono yang berarti Pemerintahan Republik Indonesia wis ono ( sudah ada ) karena lahir setelah Proklamasi yaitu tahun 1946 tanggal 3 Mei.
Yang akhirnya setelah dewasa juga mengikuti jejak kakaknya, namanya dilengkapi menjadi Priwisono Adi.
            Putra terakhir si Ragil beliau beri nama Rimanang yang mempunyai arti Republik Indonesia Menang. Lahirnya setelah Agresi kedua setelah keadaan Negara cukup tenang yaitu tahun 1950 tanggal 7 Maret.
Melihat nama bapaknya dipakai oleh kakak–kakaknya si Ragil juga ingin sama karena sama–sama putranya Bapak Adiwiyata dan bertambahlah namanya menjadi Rimanang Adi.
Keberhasilan / kesuksesan Bapak M.Marni Adiwiyata dalam mendidik Putra-Putrinya demikian juga suksesnya karier beliau dalam dunia pendidikan, semua itu mungkin tidak akan terwujud apabila Sang Pendamping tidak ikut aktif berperan terutama fungsinya sebagai Ibu Rumah Tangga.
Ibu Soediyati Marni Adiwiyata merupakan sosok pendamping suami yang patutlah dicontoh, ditiru dan diteladani.
Ibu Soediyati Marni Adiwiyata, istri teladan yang telah berhasil mendampingi Suami–Sang Perintis dengan memberikan semangat, dorongan, pengertian yang mendalam dengan tanggung jawab sebagai istri pendamping suami.
Juga merupakan ibu teladan yang dengan segala kemampuannya serta pembawaan rela berkorban disamping sifat gemi ati–ati, telah berhasil mendidik Putra–Putrinya sehingga menjadi orang yang dapat dikatakan mapan.
Beliau sebagai istri teladan pendamping seorang Guru Pendidik yang mana ditahun 50-an keadaan ekonomi masyarakat pada umumnya dan seorang pendidik pada khususnya cukup membuat prihatin tetapi beliau dengan sifatnya yang rela berkorban demi keluarga dan sifat yang gemi ati–ati, telah berhasil mewujudkan cita-cita keluarga dan juga pasti merupakan cita–cita dambaan setiap orang.
Yaitu ditahun 1953 tahun yang cukup sulit toh beliau bersama–sama suami berhasil membangun sebuah rumah.
Dengan kemampuan yang dimiliki Bapak M.Marni Adiwiyata untuk membangun rumah tersebut, gambar – maket rumah beliau sendiri yang membuatnya.
Dan untuk menekan biaya maka pembuatan batu bata, semen merah, pembuatan kusen–kusen dari bahan kayu jati glondongan yang harus digergaji dulu, dikerjakan oleh tukang–tukang ditempat lokasi rumah yang akan didirikan, dalam arti kata dikerjakan sendiri.
Dalam hal ini peranan Ibu Soediyati sang istri teladan sangat menentukan sekali.
Dimana setiap hari beliau disibukkan dengan tugas menyiapkan makan bagi semua tukang-2, dalam waktu cukup lama, beliau juga masih harus menyiapkan makanan yang bergizi bagi Putra–Putrinya.
Lima tahun kemudian ( 1958 ) bangunan utama rumah sudah dapat diselesaikan sehingga pada saat itulah Bapak M.Marni Adiwiyata beserta keluarganya pindah menempati rumah barunya.
Akhirnya Alhamdulillah dengan perjuangan yang cukup berat rumah dengan gaya rumah Belanda baru bisa selesai 100% di tahun 1980.
Bayangkan bagaimana beratnya tugas Ibu Sang Istri teladan 23 tahun membuat rumah disamping harus membiayai sekolah dan kuliah diluar kota bagi Putra–Putrinya.                   
Tugas yang kita anggap berat itu atas Kuasa , Karunia dan Rhido-Nya semuanya berjalan dengan baik dan selesai sesuai harapan.  Terima kasih Tuhan.

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’un
·         Bapak Mas Marni Adiwiyata :
 Lahir   : Trenggalek,  15 Oktober 1908
 Wafat : Tulungagung  26 Desember 1991
·         Ibu Soediyati Adiwiyata :
Lahir   : Trenggalek  28 September 1918
Wafat : Tulungagung  08 Februari  2006
Dimakamkan  di    :  Pemakaman  desa Bolorejo, Kalangbret – Tulungagung – Jawa Timur.




Ibu Soediyati  dan  Bapak Mas Marni Adiwiyata


Belliati,  Armini,  Hariasa,  Rimanang,  Priwosono


KERTAS-KERTAS USANG PENINGGALAN PAK GURU “MARNI” SANG PERINTIS PENDIRI SEKOLAH LANJUTAN DI KOTA TULUNGAGUNG
Menerima setumpuk surat-surat yang kertasnya sudah berwarna coklat itu, kami sangat surprise dan kaget……. Saat itu yang ada dibenak kami, Wah….! Gawat….! takutnya begitu dibuka lembaran surat-surat yang sudah usang tersebut akan sobek ditangan kami karena melihat dari warna kertasnya yang sudah  lapuk sekali. Dengan sangat hati-hati kami buka lembaran surat tersebut satu persatu, terkesan untuk pertama kali dibenak kami, alangkah bagusnya kualitas kertas zaman dahulu walaupun kertas-kertas tersebut sudah ada yang berusia 80 tahun lebih…. tapi masih bagus dan tidak lapuk dimakan usia.
Kami membaca arsip-arsip surat yang bahasanya kami tidak mengerti karena berbahasa Belanda. Rapot beliau sewaktu sekolah di Negeri Belanda pun masih ikut tersimpan bersama arsip lain. Kami sangat terkesan sekali dan bertambah kagum dengan Pak Guru Marni karena didalam salah satu surat tersebut kami mendapatkan fakta baru ternyata Pak Guru Marni bukan hanya Kepala SMPN di Tulungagung tapi pernah juga ditunjuk merangkap sebagai Kepala SMP Partikelir di Bendilwungu mulai 1 Oktober 1949 dengan SK a.n. Wakil Menteri PP dan K  Karesidenan Surabaya / Kediri, dengan nomor surat 246/M tertanggal 13 Oktober 1949. Mungkin pada saat itu sebagai lulusan Sekolah Guru dari Negeri Belanda beliau dianggap orang pribumi pertama yang bisa memajukan anak-anak pribumi saat itu. Selain Pak Marni sendiri sangat ingin melihat anak-anak pribumi mengenyam pendidikan seperti orang Belanda dan asing lainnya.
PAK GURU MARNI benar-benar dapat disebut TOKOH PERINTIS PENDIDIKAN di Kota TULUNGAGUNG. Kami jadi ingat pepatah yang mengatakan : Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan Nama dan Jasa baik. Kami yakin banyak murid-murid beliau lulusan SMP, SMA dan SMEA Tulungagung yang berprestasi, berhasil dan sukses menjadi “orang penting” dengan menempati posisi strategis di pemerintahan maupun swasta, dan menjadi profesional-profesional yang handal dan sukses. Dengan melihat dari “ATAS SANA”, kami yakin Pak Guru Marni bangga karena perjuangan beliau dapat dirasakan oleh masyarakat Tulungagung khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Terima Kasih Pak Guru…. Semoga semua perjuangan dan amal ibadah Bapak diterima di sisi Allah SWT. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para Pahlawan.